Monday, April 23, 2012

My Bahasa Assignment :)


PEDAGANG DAN NELAYAN
Suatu hari, seorang pedagang kaya datang berlibur ke sebuah pulau yang masih asri. Pulau tersebut terlihat sangat indah karena adanya pepohonan yang hijau. Banyak tumbuhan langka yang hidup di daerah pepohonan tersebut. Banyak pula hewan yang jarang ditemui di kota. Suasana sejuk di pulau tersebut membuat orang enggan untuk bersantai-santai di dalam rumah. Kebanyakan orang disana lebih sering berjalan keluar rumah menikmati angin yang berhembus sepoi-sepoi.
Saat merasa bosan, pedagang kaya tersebut berjalan-jalan keluar dari vila tempat dia menginap dan menyusuri tepian pantai. Terlihat di sebuah dinding karang seseorang sedang memancing. Memakai topi merah, kemeja biru tua yang sudah usang, celana tipis seadanya, dan sendal jepit yang sudah sangat tipis.
Dia menghampiri orang tersebut sambil menyapa, "Sedang memancing ya pak?" Sambil menoleh si nelayan menjawab, "Benar tuan. Mancing satu-dua ikan untuk makan malam keluarga kami." "Kenapa cuma satu-dua ikan, Pak? Kan banyak ikan di laut ini, kalau Bapak mau sedikit lebih lama duduk di sini, tiga-empat ekor ikan pasti dapat kan?" Kata si pedagang yang menilai si nelayan sebagai orang malas. "Apa gunanya buat saya ?" tanya si nelayan keheranan. "Satu-dua ekor disantap keluarga Bapak, sisanya kan bisa dijual. Hasil penjualan ikan bisa ditabung untuk membeli alat pancing lagi sehingga hasil pancingan Bapak bisa lebih banyak lagi," katanya menggurui. "Apa gunanya bagi saya?" tanya si nelayan semakin keheranan. "Begini. Dengan uang tabungan yang lebih banyak, Bapak bisa membeli jala. Bila hasil tangkapan ikan semakin banyak, uang yang dihasilkan juga lebih banyak, Bapak bisa saja membeli sebuah perahu. Dari satu perahu bisa bertambah menjadi armada penangkapan ikan. Bapak bisa memiliki perusahaan sendiri. Suatu hari Bapak akan menjadi seorang nelayan yang kaya raya."
Nelayan yang sederhana itu memandang si turis dengan penuh tanda tanya dan kebingungan. Dia berpikir, laut dan tanah telah menyediakan banyak makanan bagi dia dan keluarganya, mengapa harus dihabiskan untuk mendapatkan uang? Mengapa dia ingin merampas kekayaan alam sebanyak-banyaknya untuk dijual kembali. Sungguh tidak masuk diakal ide yang ditawarkan kepadanya.
Sebaliknya, merasa hebat dengan ide bisnisnya si pedagang kembali meyakinkan, "Kalau Bapak mengikuti saran saya, Bapak akan menjadi kaya dan bisa memiliki apa pun yang Bapak mau." "Apa yang bisa saya lakukan bila saya memiliki banyak uang?" tanya si nelayan. "Bapak bisa melakukan hal yang sama seperti saya lakukan, setiap tahun bisa berlibur, mengunjungi pulau seperti ini, duduk di dinding pantai sambil memancing." "Lho, bukankan hal itu yang setiap hari saya lakukan Tuan. Kenapa harus menunggu berlibur baru memancing?" kata si nelayan menggeleng-gelengkan kepalanya semakin heran.
Mendengar jawaban si nelayan, si pedagang seperti tersentak kesadarannya bahwa untuk menikmati memancing ternyata tidak harus menunggu kaya raya.
Si pedagang mungkin benar melalui analisis bisnisnya, dia merasa apa yang dilakukan oleh si nelayan terlalu sederhana, monoton, dan tidak bermanfaat. Mengeruk kekayaan alam demi mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya adalah wajar baginya. Sedangkan bagi si nelayan, dengan pikiran yang sederhana, mampu menerima apa pun yang diberikan oleh alam dengan puas dan ikhlas. Sehingga hidup dijalani setiap hari dengan rasa syukur dan berbahagia.

Amanat :
Ada pepatah mengatakan, jangan mengukur baju dengan badan orang lain. Memang ukuran "bahagia", masing-masing orang pastilah tidak sama. Semua kembali kepada keikhlasan dan cara kita menyukuri, apa pun yang kita miliki saat ini. Berkat apapun itu yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, itu semua patut kita syukuri. Bahkan nafas yang kita hirup setiap harinya ini sangat berharga bagi kita. Masih ada orang yang kurang beruntung. Ada orang yang kesulitan bernafas sehingga harus dibantu dengan alat pembantu pernafasan. Semua hal dalam hidup kita ini walaupun sangat “kecil”, tetap perlu kita syukuri.

No comments:

Post a Comment